Kolaborasi BRIN dan YARSI Kembangkan AI untuk Layanan Kesehatan
- Rita Puspita Sari
- •
- 31 Jan 2024 07.38 WIB
Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia (Yarsi) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah menjalin kerja sama strategis untuk mengembangkan pelayanan kesehatan berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).
Rektor Universitas Yarsi, Fasli Jalal, menyatakan bahwa kerja sama ini tidak hanya berfokus pada pengembangan penelitian, tetapi juga pada penerapan hasil-hasil penelitian yang dapat bermanfaat bagi masyarakat.
"Kami bersyukur diberikan kesempatan oleh BRIN untuk melakukan kerja sama yang menurut kami ini sangat strategis tidak saja dalam pengembangan penelitian, tetapi juga hasil-hasil penelitian yang bisa dimanfaatkan untuk pengabdian kepada masyarakat," kata Fasli usai penandatanganan nota kerja sama di Gedung BJ Habibie, Jakarta Pusat, Senin (29/01/2024).
Pelayanan kesehatan berbasis kecerdasan buatan yang dikembangkan oleh Yarsi berfokus pada pengolahan data ruang perawatan intensif (ICU) pasien. Algoritma dibuat untuk memprediksi manajemen kasus, waktu berobat, peningkatan ketepatan diagnosis, dan prediksi penyembuhan. Fasli menjelaskan bahwa rumah sakit dapat menggunakan analisis AI untuk menyiapkan tempat tidur dan mempertajam diagnosa.
"Manajemen rumah sakit bisa menyiapkan tempat tidur berdasarkan analisa dari AI dan bisa mempertajam diagnosa," kata Fasli.
Saat ini, Yarsi sedang menguji coba penggunaan kecerdasan buatan untuk ruang perawatan intensif, menggunakan data publik dari Amerika Serikat, Australia, dan negara lain, karena data ICU Indonesia belum tersedia. Algoritma yang dihasilkan dari uji coba ini akan dievaluasi selama lima hingga sepuluh tahun untuk memastikan kecocokannya dengan data Indonesia.
"Kami uji benarkah algoritma itu bisa dipakai atau ternyata memerlukan pendalaman agar algoritma itu lebih cocok dengan data Indonesia. Itu mungkin butuh waktu lima sampai 10 tahun dan datanya itu harus banyak puluhan ribu untuk membuat presisi dari algoritma tersebut menjadi semakin baik," ujar Fasli.
Fasli menekankan pentingnya pendampingan dari BRIN dalam menghasilkan algoritma yang kuat. "Melalui pemanfaatan kecerdasan buatan, maka pelayanan kesehatan bisa lebih cepat, efektif, dan efisien," katanya. Khususnya, spesialis medis dapat lebih fokus pada diagnosis penyakit, karena tugas diagnosis dapat dilakukan oleh teknologi kecerdasan buatan.
Direktur Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Industri BRIN, Mulyadi Sinung Harjono, menyatakan bahwa teknologi kecerdasan buatan yang digunakan dalam pelayanan medis bertugas sebagai penanda tentang penyakit, waktu kunjungan pengobatan, lama rawat inap, dan jenis obat yang dikonsumsi oleh pasien. Ia menegaskan bahwa keputusan akhir tetap berada di tangan dokter, sedangkan AI memberikan informasi tambahan untuk mendukung diagnosa.
"AI itu sebagai tanda, bukan berarti AI yang memutuskan, karena yang memutuskan tetap dokter. AI memberikan tanda-tanda saja yang membantu diagnosa," tutur Sinung.
Kolaborasi antara Yarsi dan BRIN dalam mengembangkan pelayanan kesehatan berbasis AI menjanjikan transformasi yang signifikan dalam penyediaan layanan kesehatan yang lebih efisien dan efektif. Meskipun masih menghadapi sejumlah tantangan, kerjasama ini memberikan harapan besar dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan dan memperluas akses masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas.
Teknologi AI Membuka Era Baru dalam Diagnosis Penyakit
Dari sisi BRIN, Kepala Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber BRIN, Anto Satriyo Nugroho, menjelaskan bahwa teknologi kecerdasan buatan dapat digunakan untuk menganalisa dan mendiagnosa berbagai penyakit. Penelitian AI saat ini semakin berkembang dan dapat mempercepat proses diagnosis, meningkatkan akurasi, dan mengurangi kesalahan yang mungkin terjadi.
"Dari sisi medis, kita mungkin melihat AI sebagai tools yang memiliki banyak peluang, mempercepat proses diagnosis, meningkatkan akurasi, dan mengurangi error yang terjadi karena pengalaman atau jam terbang dokter yang melakukan diagnosis," ungkap Anto.
Salah satu teknologi AI yang telah diterapkan dalam bidang kesehatan adalah AI-based Paediatric Tele-Dermatology. Teknologi ini merupakan hasil dari kolaborasi antara para peneliti di Pusat Riset Komputasi BRIN dan Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia Persatuan Dokter Kulit dan Kelamin Indonesia (KSDAI PERDOSKI).
Dosen Ilmu Komputer Universitas Bina Nusantara, Nur Afny Catur Andryani, menjelaskan bahwa keterbatasan kompetensi dokter umum dalam menangani kasus penyakit kulit anak memerlukan bantuan dari dokter spesialis kulit dan kelamin konsulen anak. Namun, jumlah dokter spesialis tersebut terbatas dan banyak terkonsentrasi di kota-kota besar.
“AI sebenarnya sudah banyak dimanfaatkan untuk dunia medis. Namun, untuk kasus dermatologi, AI masih terbatas digunakan utamanya untuk diagnosis penyakit,” kata Nur.
Untuk mengatasi tantangan ini, para peneliti melakukan riset pengembangan paediatric tele-dermatology berbasis AI. Teknologi telemedicine untuk dermatologi ini memungkinkan kolaborasi antara dokter umum, dokter spesialis kulit umum, dan dokter spesialis anak dengan dokter spesialis kulit dan kelamin konsulen anak atau pediatri.
Menurut Nur Afny, meskipun AI sudah banyak dimanfaatkan dalam dunia medis, terutama untuk deteksi dini kanker kulit, namun penggunaan AI dalam diagnosis penyakit kulit masih terbatas. Penelitian yang ada sebagian besar berfokus pada deteksi kanker kulit dini dan beberapa penyakit kulit khas dengan jumlah terbatas.
Riset pengembangan teknologi ini merupakan sebuah tantangan besar yang dilakukan untuk membangun sistem diagnosis berbasis AI yang mampu mengenali lebih dari 50 penyakit sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). Proses ini diakui sebagai high dimensional classification yang memerlukan pemodelan yang kompleks.