Uni Eropa, AS, Inggris Teken Perjanjian Internasional tentang AI
- Pabila Syaftahan
- •
- 07 Sep 2024 17.06 WIB
Pada Kamis (5/9/2024), pemerintah Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Inggris secara resmi menandatangani perjanjian internasional pertama yang mengikat secara hukum terkait risiko artificial intelligence (AI). Penandatanganan ini dilakukan dalam rangkaian pertemuan Dewan Eropa di Vilnius, Lithuania, dan menandai langkah penting dalam pengaturan penggunaan AI di tingkat global.
Perjanjian ini bertujuan untuk mengatur seluruh siklus hidup sistem AI, dari pengembangan hingga implementasi, dengan fokus pada meminimalkan risiko yang mungkin ditimbulkan terhadap hak asasi manusia, demokrasi, dan supremasi hukum. Di sisi lain, perjanjian ini tetap mendorong kemajuan dan inovasi di bidang AI, memastikan bahwa teknologi ini berkembang dengan bertanggung jawab dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang melindungi masyarakat.
Sekretaris Jenderal Dewan Eropa, Marija Pejcinovic Buric, menyatakan bahwa kerangka hukum yang diusulkan oleh perjanjian ini akan membantu menjaga standar global terkait penggunaan AI. “Kita harus memastikan bahwa perkembangan AI tidak merusak nilai-nilai dan standar yang kita junjung tinggi, tetapi justru memperkuatnya,” tegas Buric.
Buric juga menekankan pentingnya perjanjian ini sebagai langkah awal dari kerangka hukum yang lebih luas dan inklusif. “Konvensi Kerangka Kerja ini adalah hasil dari pendekatan yang terbuka dan melibatkan banyak pihak, memastikan bahwa berbagai perspektif ahli di seluruh dunia turut dipertimbangkan dalam pembuatannya,” jelasnya. Ia berharap lebih banyak negara segera menyusul untuk menandatangani dan meratifikasi perjanjian ini, sehingga dapat segera diberlakukan.
Dampak Global dan Harapan Masa Depan
Perjanjian ini tidak hanya mengikat secara hukum, tetapi juga memberikan landasan bagi pemerintah di seluruh dunia untuk mengembangkan kebijakan AI yang konsisten dengan hak asasi manusia, demokrasi, dan supremasi hukum. Ini mencakup kewajiban negara-negara untuk memastikan bahwa penggunaan AI tidak melanggar hak-hak fundamental dan standar demokrasi.
Konvensi ini dibuka untuk penandatanganan pada konferensi menteri kehakiman Dewan Eropa yang diadakan di Vilnius. Dengan adanya perjanjian ini, diharapkan sistem AI di seluruh dunia dapat digunakan dengan lebih bijak dan penuh tanggung jawab. Tidak hanya negara-negara besar, perjanjian ini juga menarik minat dari berbagai negara lain di luar Eropa.
Selain Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Inggris, beberapa negara lain juga turut menandatangani perjanjian ini, termasuk Andorra, Georgia, Islandia, Norwegia, Moldova, San Marino, dan Israel. Kesepakatan ini diharapkan menjadi awal dari perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang lebih spesifik di masa depan.
Kerangka Hukum yang Kuat untuk Menghadapi Risiko AI
Penggunaan kecerdasan buatan semakin meluas dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari teknologi kesehatan, transportasi, hingga keamanan. Namun, kemajuan pesat di bidang ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait bagaimana teknologi tersebut dapat disalahgunakan atau berdampak negatif pada masyarakat. Misalnya, kekhawatiran tentang privasi, keamanan, serta potensi diskriminasi yang muncul dari algoritma AI yang tidak adil.
Dengan adanya kerangka hukum baru ini, diharapkan negara-negara yang menandatangani perjanjian dapat mengimplementasikan langkah-langkah pencegahan dan pengawasan yang ketat. Hal ini akan memastikan bahwa sistem AI yang dikembangkan tidak hanya aman, tetapi juga transparan dan bertanggung jawab.
Perjanjian ini juga mengakui bahwa AI memiliki potensi besar untuk memajukan masyarakat di banyak bidang, namun perkembangan teknologi ini harus tetap berada dalam batasan etika dan hukum yang jelas. Keberadaan peraturan yang kuat akan menghindarkan penyalahgunaan teknologi AI untuk tujuan yang tidak sesuai dengan norma kemanusiaan.
Harapan untuk Ratifikasi dan Penerapan Cepat
Marija Pejcinovic Buric berharap agar perjanjian ini segera diratifikasi oleh negara-negara yang menandatangani, sehingga dapat segera diberlakukan dan memberi dampak nyata. Dengan adanya perjanjian ini, diharapkan AI dapat dimanfaatkan dengan lebih aman dan sesuai dengan prinsip-prinsip internasional yang melindungi hak asasi manusia.
Langkah ini juga dianggap sebagai dorongan bagi negara-negara lain di luar Eropa dan Amerika untuk terlibat dalam upaya global mengatur dan mengelola risiko AI. Pada akhirnya, tujuan dari perjanjian ini adalah memastikan bahwa kecerdasan buatan tidak hanya menjadi alat inovasi, tetapi juga tetap menghormati hak asasi dan demokrasi di seluruh dunia.
Dengan berbagai negara yang sudah mulai bergerak untuk mengatur teknologi ini, penandatanganan perjanjian ini merupakan sinyal bahwa pemerintah di berbagai belahan dunia mulai serius dalam menghadapi tantangan etis dan hukum yang ditimbulkan oleh kecerdasan buatan. Ke depan, kolaborasi global yang lebih kuat diharapkan dapat memperkuat pengelolaan dan penggunaan AI demi kepentingan masyarakat luas.
Perjanjian internasional ini menjadi bukti bahwa di tengah kemajuan teknologi yang pesat, nilai-nilai kemanusiaan tetap harus dijaga dan dilindungi.