Metaverse Indonesia: Tantangan Harga dan Ancaman AI
- Rita Puspita Sari
- •
- 18 Jan 2024 11.00 WIB
Perkembangan metaverse di Indonesia dinilai masih sulit, terutama karena harga perangkatnya yang terlalu mahal. Menurut Center of Economic and Law Studies (Celios), ekosistem metaverse membutuhkan dukungan perangkat yang saat ini masih eksklusif, seperti perangkat AR (Augmented Reality) dan VR (Virtual Reality) dengan harga yang tidak murah. Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, menekankan bahwa meskipun teknologi ini berkembang, kegunaannya masih terbatas dan tidak terlalu membantu aktivitas manusia.
“Misalkan teknologi AR dan VR kan harus membeli device pendukung yang harganya tidak murah. Penggunaannya pun sangat terbatas dan tidak terlalu membantu aktivitas manusia,” ujar Huda dikutip dari Bisnis.Tekno, Rabu (17/1/2024).
Sebagai contoh, perusahaan teknologi Sightful baru-baru ini meluncurkan perangkat Spacetop, gabungan laptop dengan kacamata Augmented Reality (AR) pertama di dunia, dengan harga yang mencapai Rp33,4 juta. Begitu pula dengan kacamata AR Meta Quest 3 dari Meta dengan harga Rp7,8 juta, dan Apple Vision Pro dengan harga Rp54,7 juta. Harga-harga tersebut membuat metaverse sulit diakses oleh semua segmen masyarakat, menciptakan kesenjangan dengan cepat berkembangnya AI yang dapat diakses secara lebih luas.
Menurut Huda, perbandingan antara metaverse dan AI menjadi semakin mencolok dengan keberhasilan platform AI seperti ChatGPT dan Bard yang dapat digunakan secara gratis atau dengan opsi berbayar untuk kualitas layanan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa metaverse belum memenuhi ekspektasi masyarakat, sementara AI justru melebihi ekspektasi pengguna.
Meski demikian, Huda menyatakan bahwa dengan banyaknya perusahaan yang mengeluarkan kacamata AR, masih ada peluang positif bagi metaverse untuk berkembang. Berdasarkan riset dari Bain & Company pun memperkirakan nilai pasar metaverse mencapai US$900 miliar pada 2030, meskipun metaverse masih di tahap awal hingga 5-10 tahun ke depan.
Meskipun terdapat optimisme dari beberapa pihak terkait nilai pasar metaverse, ada juga pandangan pesimis terhadap masa depan teknologi ini. Pengamat seperti Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menyatakan kepesimisannya terhadap definisi metaverse yang masih belum jelas. Menurutnya, metaverse sebenarnya hanya sebuah kata lain dari dunia meta dan platform buatan Facebook, yang kemudian terkenal saat perusahaan tersebut mengganti namanya menjadi Meta.
“Kalau orang membicarakan metaverse secara lebih jauh, kita belum menemukan akan seperti apa metaverse, ini yang menjadi catatan penting sebelum kita membahas perkembangan teknologi dalam mendukung metaverse,” ujar Heru, Selasa (16/1/2024).
Heru menekankan bahwa belum jelas seperti apa sebenarnya metaverse, sehingga pengembangan teknologi seperti augmented reality (AR) dan artificial intelligence (AI) tidak dapat dengan pasti dikaitkan dengan metaverse. Menurutnya, teknologi ini berkembang secara mandiri dan bukan merupakan bagian integral dari metaverse.
Lebih lanjut, Heru mengingatkan bahwa tidak semua teknologi yang dikembangkan, bahkan oleh perusahaan sebesar Facebook, dapat berhasil. Ia merinci beberapa masalah yang dihadapi, seperti ketidaknyamanan pengguna kacamata AR, ketakutan masyarakat terhadap teknologi mixed reality, dan penyalahgunaan NFT dan lahan virtual untuk penipuan.
Heru menyimpulkan bahwa metaverse masih dalam proses pencarian untuk menemukan bentuk yang pas, dan perlu waktu untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapinya. Dengan pandangan pesimis ini, masa depan metaverse di Indonesia nampaknya masih belum terlalu jelas.