60 Negara Dukung Penerapan AI di Militer, China Pilih Mundur


Ilustrasi Teknologi Bidang Militer

Ilustrasi Teknologi Bidang Militer

Pada Selasa, 10 September 2024, sebanyak 60 negara, termasuk Amerika Serikat (AS), sepakat untuk menandatangani sebuah dokumen penting yang dikenal sebagai "cetak biru tindakan" terkait pengaturan penggunaan artificial intelligence (AI) dalam konteks militer. Dokumen ini bertujuan untuk memastikan bahwa penerapan AI di medan perang dilakukan secara lebih etis dan manusiawi.

Namun, tidak semua negara mendukung inisiatif ini. Sekitar 30 negara yang hadir dalam KTT yang berlangsung di Seoul, Korea Selatan, termasuk China, memilih untuk tidak menandatangani pedoman tersebut. Penolakan ini mencerminkan adanya perbedaan pandangan terkait cara terbaik untuk mengatur teknologi AI di sektor militer.

Pedoman yang disepakati oleh negara-negara pendukung mencakup sejumlah prinsip penting, termasuk perlunya pengawasan manusia dalam setiap tahapan penggunaan AI di ranah militer. Dokumen ini menekankan pentingnya penilaian risiko yang hati-hati serta perlunya menjaga keterlibatan manusia dalam pengembangan dan penggunaan AI. Dengan kata lain, meskipun teknologi AI semakin canggih, pengawasan manusia tetap harus dipertahankan untuk memastikan bahwa penggunaan AI tetap sesuai dengan standar etika dan kemanusiaan.

Belanda, yang menyelenggarakan pertemuan ini bersama dengan Singapura, Kenya, dan Inggris, menekankan bahwa fokus dari KTT ini adalah pada pembuatan pedoman yang berorientasi pada tindakan. Ini termasuk diskusi mengenai kemajuan teknologi terbaru, seperti pesawat tak berawak berkemampuan AI yang baru-baru ini diluncurkan oleh Ukraina. Kebutuhan untuk mencegah penyalahgunaan AI dalam pengembangan senjata pemusnah massal, terutama oleh kelompok teroris, juga menjadi sorotan dalam dokumen tersebut.

Ukraina, bersama dengan negara-negara anggota NATO seperti Prancis, Jerman, dan Inggris, adalah beberapa negara yang ikut menandatangani pedoman tersebut. Di sisi lain, Rusia, yang sedang terlibat dalam konflik di Ukraina, tidak diundang ke pertemuan ini dan oleh karena itu tidak ikut menandatangani pedoman.

KTT Penggunaan AI di Domain Militer (REAIM) yang diadakan di Seoul ini adalah pertemuan kedua setelah KTT serupa diadakan di Den Haag, Belanda, tahun lalu. Menteri Pertahanan Belanda, Ruben Brekelmans, mengungkapkan bahwa pertemuan kali ini bertujuan untuk melangkah lebih jauh menuju implementasi konkret dari pedoman tersebut. Menurutnya, pertemuan tahun lalu lebih fokus pada penciptaan pemahaman bersama, sementara pertemuan kali ini lebih menekankan pada tindakan nyata.

Brekelmans juga menyadari bahwa tidak semua negara akan setuju atau mematuhi pedoman yang ditetapkan. Ia menambahkan bahwa tantangan besar adalah bagaimana mengatasi kenyataan bahwa beberapa negara mungkin tidak akan mengikuti aturan yang disepakati. "Kami harus realistis dan memahami bahwa tidak semua pihak akan patuh. Ini adalah dilema yang rumit yang perlu dibahas lebih lanjut," ungkapnya.

Selain itu, Brekelmans mencatat bahwa prinsip-prinsip yang diusulkan dalam pedoman ini merupakan langkah awal menuju penggunaan AI yang lebih bertanggung jawab di militer. Ia menekankan perlunya adanya tindakan tegas terhadap negara-negara yang melanggar aturan.

Giacomo Persi Paoli, kepala Program Keamanan dan Teknologi di United Nations Institute for Disarmament Research (UNIDIR), mengungkapkan pandangannya bahwa membuat peraturan secara terburu-buru tanpa dukungan semua pihak bisa menjadi kontra produktif. "Cetak biru ini merupakan langkah kemajuan yang bertahap. Terlalu cepat melangkah bisa berisiko jika banyak negara tidak terlibat," katanya.

KTT ini diselenggarakan dengan tujuan untuk memfasilitasi diskusi di antara berbagai pemangku kepentingan tanpa dominasi dari negara atau entitas tertentu. Hal ini diharapkan dapat menciptakan dasar yang kuat untuk pengaturan penggunaan AI di sektor militer yang lebih terkoordinasi dan berorientasi pada kemanusiaan di masa depan.


Bagikan artikel ini

Video Terkait