Search vs Ask: Pergeseran Perilaku Konsumen oleh Generative AI


Ilustrasi Google Search

Ilustrasi Google Search

Saat ini dunia teknologi sedang diwarnai oleh perubahan besar dalam cara kita berinteraksi dengan informasi. Kalau dulu kita terbiasa melakukan search dengan mengetik kata kunci dan memilih link dari daftar panjang hasil pencarian, sekarang semakin banyak orang beralih ke cara baru, yaitu ask (bertanya).

Bukan lagi dengan “mencari” kata kunci, tapi dengan “bertanya” langsung pada AI. Perubahan kecil ini ternyata dapat membawa dampak yang cukup signifikan, terutama dalam dunia digital marketing dan strategi brand.

 
Dari “Search” ke “Ask”

Pada model lama seperti search, pengguna biasanya mengetik kata kunci di Google. Kemudian terdapat hasilnya berupa 10 link tautan, yang dapat dipilih, dibaca, serta dianalisis sendiri. Hal ini tujuannya jelas, yakni membawa traffic klik ke halaman website.

Namun sekarang dengan hadirnya generative AI, orang lebih suka bertanya dengan style percakapan. Ini bukan lagi berbentuk list dengan daftar link, tetapi sudah berupa jawaban langsung yang sudah dianalisis sebelumnya. Dan tujuannya bukan sekadar untuk klik, tetapi menjadi bagian dari jawaban AI itu sendiri, seperti percakapan.

Data OJK terbaru bahkan mencatat bahwa 71% orang Indonesia sudah menggunakan AI dalam keseharian mereka. Hal ini memperlihatkan perubahan, yang lebih dari tren masa depan, namun sudah terjadi di depan mata kita sekarang.

Lalu, kenapa pergeseran ini terjadi? Jawabannya sederhana, karena adanya cognitive ease. Maksudnya dengan pencarian tradisional sebenarnya kegiatan ini cukup melelahkan. Kita harus mengetik kata kunci, memilih link yang relevan, membaca isi, lalu menyusun sendiri jawabannya. Ini yang disebut sebagai cognitive switching penalty. Nemun dengan menggunakan AI, beban itu akan berkurang. Cukup dengan bertanya dan akan langsung dapat jawabannya. Tidak perlu bolak-balik klik yang membutuhkan banyak proses. Jadi tidak heran kalau konsumen lebih menyukai model ask karena lebih cepat, lebih praktis, dan lebih natural.

 
Tantangan untuk Brand di Era GEO

Namun di balik kemudahan itu, brand dalam bisnis menghadapi dilema yang besar. Berikut tantangan utama berdasarkan Generative Engine Optimization (GEO), yaitu:

  1. Loss of Attribution & Trafficmaksudnya konten kita bisa saja “dicerna” oleh AI yang kemudian diringkas untuk pengguna. Hal ini menjadikan perjalanan pengguna akan berhenti sebelum sampai ke website kita. Sehingga akan muncul pertanyaan "bagaimana mengukur ROI kalau traffic tidak lagi jadi ukuran utama?"

  2. Brand Voice Dilution, maksudnya pesan brand yang sudah dirancang dengan hati-hati bisa saja diparafrasekan oleh AI. Hal seperti nuansa, tone, bahkan kepribadian brand dapat menjadi hilang.

  3. Black Box Problem, hal ini terkait kriteria AI dalam memilih sumber yang tidak transparan. Dikarenakan algoritmanya yang bisa berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan, ini menyebabkan strategi brand menjadi tidak stabil.

Banyak orang salah paham bahwa GEO akan menggantikan SEO. Tapi sebenarnya SEO tetap penting sebagai fondasi penting yang saat ini mempunyai peran yang berbeda. Dengan kata lain, SEO memastikan konten kita tetap ditemukan, sedangkan GEO memastikan konten kita diakui, dikutip, dan dipakai AI dalam memberikan jawaban.

Cara konsumen mencari informasi sudah jelas bergeser saat ini, dari search ke ask. Hal ini akan menandakan bahwa konsumen tidak lagi sekadar mencari informasi, tapi sangat menginginkan jawaban cepat, personal, dan relevan. Sehingga tugas brand bukan hanya mengejar ranking di halaman pertama, tetapi harus dapat memastikan mereka menjadi bagian dari jawaban yang diberikan AI.

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait