Kemajuan dan Tantangan AI: Bisakah Desentralisasi Jadi Solusi?
- Pabila Syaftahan
- •
- 23 Agt 2024 08.02 WIB
Dalam dua tahun terakhir, kemampuan Artificial Intelligence (AI) telah berkembang pesat, terutama dengan munculnya Large Language Model (LLM) seperti ChatGPT, Dall-E, dan Midjourney yang kini menjadi alat yang digunakan sehari-hari. Saat ini, program AI generatif tak hanya merespons email, tetapi juga menulis materi pemasaran, merekam lagu, dan menciptakan gambar dari masukan sederhana.
Hal yang paling mencengangkan adalah kecepatan adopsi AI oleh individu dan perusahaan. Sebuah survei terbaru dari McKinsey menunjukkan bahwa jumlah perusahaan yang telah menerapkan AI generatif dalam setidaknya satu fungsi bisnis meningkat dua kali lipat dalam satu tahun, mencapai 65% pada tahun 2023 dari 33% di awal tahun.
Namun, seperti perkembangan teknologi lainnya, inovasi AI juga dihadapkan pada berbagai tantangan. Melatih dan menjalankan program AI membutuhkan sumber daya yang sangat besar, dan saat ini, perusahaan teknologi raksasa memiliki keunggulan yang jelas, sehingga menimbulkan risiko sentralisasi AI.
Tantangan Komputasi dalam Pengembangan AI
Menurut laporan dari World Economic Forum, kebutuhan akan komputasi AI, yaitu daya komputasi yang diperlukan untuk mengembangkan AI, meningkat dengan laju tahunan antara 26% hingga 36%. Tren ini juga diperkuat oleh studi terbaru dari Epoch AI yang memproyeksikan bahwa biaya untuk melatih atau menjalankan program AI akan segera mencapai miliaran dolar.
Peneliti dari Epoch AI, Ben Cottier, mencatat bahwa "biaya untuk pelatihan AI terbesar telah meningkat dua hingga tiga kali lipat per tahun sejak 2016, dan ini membuat biaya mencapai miliaran dolar mungkin terjadi pada tahun 2027, atau bahkan lebih cepat."
Faktanya, kita sudah melihat tanda-tanda ini. Tahun lalu, Microsoft menginvestasikan $10 miliar di OpenAI, dan baru-baru ini diberitakan bahwa kedua entitas ini berencana membangun pusat data yang akan menampung superkomputer dengan jutaan chip khusus. Biayanya? Sebesar $100 miliar, sepuluh kali lipat dari investasi awal.
Microsoft bukan satu-satunya pemain besar yang berinvestasi besar-besaran dalam sumber daya komputasi AI. Perusahaan lain seperti Google, Alphabet, dan Nvidia juga mengarahkan dana besar untuk penelitian dan pengembangan AI. Meskipun hasil dari investasi ini mungkin akan sepadan, tidak bisa dipungkiri bahwa pengembangan AI saat ini lebih didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar yang memiliki modal besar.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana kita dapat menghindari kesalahan yang sama seperti yang terjadi pada inovasi Web2, di mana hanya segelintir perusahaan yang mengendalikan inovasi?
James Landay, Wakil Direktur HAI Stanford dan Direktur Penelitian Fakultas, pernah membahas skenario ini. Menurut Landay, permintaan akan sumber daya GPU dan prioritas perusahaan teknologi besar untuk menggunakan kekuatan komputasi AI mereka secara internal akan mendorong pengembangan solusi perangkat keras yang lebih murah.
Di Tiongkok, pemerintah sudah mulai mendukung startup AI setelah konflik chip dengan AS membatasi akses perusahaan Tiongkok terhadap chip yang penting. Pemerintah daerah di Tiongkok memperkenalkan subsidi pada awal tahun ini, dengan janji untuk menawarkan voucher komputasi bagi startup AI senilai antara $140.000 hingga $280.000. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi biaya terkait dengan daya komputasi.
Mendesentralisasi Biaya Komputasi AI
Saat ini, industri AI cenderung terpusat. Perusahaan teknologi besar mengendalikan sebagian besar daya komputasi serta program AI. Meskipun terjadi perubahan, kenyataannya tetap sama: kontrol utama berada di tangan perusahaan besar.
Namun, ada harapan bahwa situasi ini bisa berubah menjadi lebih baik dengan munculnya infrastruktur komputasi terdesentralisasi seperti blockchain Qubic Layer 1. Blockchain ini menggunakan mekanisme penambangan canggih yang disebut Proof-of-Work (PoW) yang berguna, berbeda dengan PoW tradisional Bitcoin yang hanya menggunakan energi untuk mengamankan jaringan, uPoW Qubic memanfaatkan daya komputasinya untuk tugas-tugas AI produktif seperti melatih jaringan saraf.
Dalam konteks yang lebih sederhana, Qubic mendesentralisasikan sumber daya komputasi AI dengan mengubah paradigma di mana inovator tidak lagi terbatas pada perangkat keras yang mereka miliki atau sewa dari perusahaan teknologi besar. Sebaliknya, blockchain ini memanfaatkan jaringan penambangnya yang bisa mencapai puluhan ribu untuk menyediakan daya komputasi.
Meskipun pendekatan ini lebih teknis dibandingkan dengan membiarkan perusahaan teknologi besar menangani bagian backend, pendekatan terdesentralisasi ini lebih ekonomis. Yang lebih penting, pendekatan ini akan membuka peluang bagi lebih banyak pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam inovasi AI, dibandingkan dengan situasi saat ini yang hanya melibatkan beberapa pemain besar.
Inovasi AI masih berada di tahap awal, namun tantangan dalam mengakses daya komputasi masih menjadi hambatan utama. Selain itu, perusahaan teknologi besar saat ini mengendalikan sebagian besar sumber daya, yang menjadi tantangan signifikan bagi laju inovasi. Namun, dengan munculnya infrastruktur terdesentralisasi, seluruh ekosistem AI memiliki peluang untuk mengurangi biaya komputasi dan membebaskan diri dari kendali perusahaan teknologi besar, sehingga memungkinkan perkembangan AI yang lebih adil dan berkelanjutan.