Menganalisis Hubungan Erat AI dan Gig Economy
- Haris Sandi Purna Yudha
- •
- 16 Agu 2025 05.19 WIB
Ilustrasi Gig Economy
Kemajuan teknologi digital telah melahirkan model ekonomi baru yang mengubah lanskap ketenagakerjaan secara fundamental. Salah satu yang paling menonjol adalah gig economy, sebuah pasar kerja yang bercirikan kontrak jangka pendek, tugas spesifik, dan fleksibilitas tinggi. Kehadirannya dimungkinkan oleh platform digital yang menghubungkan penyedia jasa dengan konsumen. Namun, di balik layar platform-platform ini, ada kekuatan teknologi lain yang bekerja secara sentral: kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Hubungan antara AI dan gig economy bersifat simbiosis. AI menjadi "otak" yang menggerakkan efisiensi platform, sementara gig economy menjadi laboratorium raksasa bagi penerapan dan pengembangan AI dalam dunia kerja nyata.
Peran Sentral AI dalam Menggerakkan Platform Gig
Kecerdasan buatan bukanlah sekadar tambahan, melainkan fondasi operasional dari sebagian besar platform gig economy. Peran AI dapat dilihat dalam beberapa fungsi krusial yang memungkinkan model bisnis ini berjalan dalam skala besar.
Salah satu peran utama AI adalah dalam penyesuaian (matching) antara permintaan dan penawaran. Algoritma canggih menganalisis jutaan titik data secara real-time untuk mempertemukan pekerja dengan pekerjaan yang paling sesuai. Misalnya, pada platform transportasi daring seperti Gojek atau Grab, AI tidak hanya mencocokkan pengemudi terdekat dengan penumpang, tetapi juga mempertimbangkan faktor lain seperti riwayat perjalanan, rating, dan pola lalu lintas untuk mengoptimalkan alokasi (Woodcock & Graham, 2019). Proses serupa terjadi pada platform freelance seperti Upwork atau Fiverr, di mana AI merekomendasikan freelancer dengan keahlian spesifik kepada klien, menyaring proposal, dan mempersonalisasi hasil pencarian.
Selain itu, AI bertanggung jawab atas manajemen algoritmik (algorithmic management). Ini mencakup penetapan harga dinamis (dynamic pricing) yang menyesuaikan tarif berdasarkan permintaan, pemantauan kinerja pekerja melalui sistem rating, dan bahkan pengiriman "dorongan" (nudges) untuk memotivasi pekerja agar tetap aktif pada jam-jam sibuk. Meskipun dirancang untuk efisiensi, praktik ini sering kali menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memaksimalkan potensi pendapatan dan efisiensi sistem. Di sisi lain, ia menciptakan hubungan kerja yang tidak setara, di mana pekerja dikelola oleh sistem black box yang tidak transparan dan sering kali tanpa ruang untuk negosiasi atau banding (Meliou, Vassilopoulou, & Ozbilgin, 2024).
Peluang dan Prekaritas
Integrasi AI ke dalam gig economy membawa dampak yang kompleks bagi para pekerjanya. AI membuka peluang baru dengan menurunkan hambatan untuk masuk ke pasar kerja. Seseorang dengan keterampilan tertentu dapat dengan mudah menawarkan jasanya ke pasar global. Alat-alat berbasis AI, seperti asisten penulis atau generator gambar, juga dapat berfungsi sebagai akselerator, memungkinkan pekerja menyelesaikan tugas lebih cepat dan meningkatkan produktivitas mereka (DQLab, 2025).
Namun, di balik peluang tersebut, terdapat risiko prekaritas, yaitu kondisi kerja yang tidak menentu, tidak aman, dan rentan. Status pekerja sebagai "mitra" atau kontraktor independen sering kali menempatkan mereka di luar jangkauan regulasi ketenagakerjaan tradisional, yang berarti tidak ada jaminan upah minimum, asuransi kesehatan, atau tunjangan lainnya (Keban, Hernawan, & Novianto, 2021).
Ketergantungan pada algoritma yang tidak transparan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan menciptakan ketidakpastian yang konstan. Sebuah studi dari Center for Digital Society (CfDS) UGM menyoroti bagaimana keputusan yang sepenuhnya dibuat oleh non-manusia ini rentan terhadap eksploitasi karena asimetri informasi antara platform dan pekerja (FISIPOL UGM, 2025).
Lebih jauh lagi, kemajuan AI juga memicu kekhawatiran tentang otomatisasi pekerjaan. Tugas-tugas yang bersifat rutin dan dapat diprediksi, mulai dari layanan pelanggan hingga analisis data tingkat dasar, semakin berisiko untuk digantikan oleh sistem AI. Hal ini menuntut para pekerja gig untuk terus beradaptasi dan meningkatkan keterampilan (reskilling dan upskilling) agar tetap relevan di pasar yang terus berubah (Optika.id, 2025).
Regulasi dan Adaptasi
Melihat keterkaitan yang begitu dalam, masa depan gig economy tidak dapat dipisahkan dari arah pengembangan AI. Diperkirakan kontribusi AI terhadap ekonomi global akan sangat signifikan, menciptakan model-model bisnis baru seperti gig economy berbasis AI (BRIN, 2025). Namun, hal ini juga menghadirkan tantangan besar, terutama bagi negara berkembang, terkait kesenjangan infrastruktur dan keterampilan.
Oleh karena itu, diskusi mengenai regulasi menjadi sangat mendesak. Bagaimana cara menciptakan kerangka kerja yang adil yang dapat melindungi hak-hak dasar pekerja gig tanpa mematikan inovasi yang ditawarkan oleh platform berbasis AI? Beberapa usulan mencakup pembuatan skema perlindungan sosial yang fleksibel, peningkatan transparansi algoritma, serta pengakuan hak pekerja untuk berorganisasi dan bernegosiasi secara kolektif.
Pada akhirnya, hubungan antara AI dan gig economy mencerminkan pergeseran yang lebih luas dalam dunia kerja. Ini adalah arena di mana efisiensi algoritmik berhadapan langsung dengan kesejahteraan manusia. Menavigasi masa depan ini membutuhkan pendekatan yang seimbang, di mana kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan untuk menciptakan peluang yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat.
Referensi:
-
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). (2025). Kecerdasan artifisial: Regulasi, peluang ekonomi, dan ancaman bagi pekerja. BRIN. Diakses dari https://brin.go.id/reviews/123404/kecerdasan-artifisial-regulasi-peluang-ekonomi-dan-ancaman-bagi-pekerja
-
DQLab. (2025). Dampak AI pada dunia freelance dan gig economy, ancaman atau akselerasi?. DQLab. Diakses dari https://dqlab.id/dampak-ai-pada-dunia-freelance-dan-gig-economy-ancaman-atau-akselerasi
-
FISIPOL UGM. (2025, 6 Mei). Para pakar multidisipliner, soroti kerentanan pekerja gig di tengah masifnya kecerdasan buatan dalam diskusi Digital Expert Talk CfDS UGM. FISIPOL UGM. Diakses dari https://fisipol.ugm.ac.id/para-pakar-multidisipliner-soroti-kerentanan-pekerja-gig-di-tengah-masifnya-kecerdasan-buatan-dalam-diskusi-digital-expert-talk-cfds-ugm
-
Keban, Y. T., Hernawan, A., & Novianto, A. (Eds.). (2021). Menyoal kerja layak dan adil dalam ekonomi gig di Indonesia. IGPA Press.
-
Meliou, E., Vassilopoulou, J., & Ozbilgin, M. F. (Eds.). (2024). Artificial intelligence, gig economy and precarity. Dalam Diversity and precarious work during socio-economic upheaval. Cambridge University Press.
-
Optika.id. (2025, 4 Juli). Ekonomi gig dan AI: Peluang, tantangan, dan persiapan mahasiswa. Optika.id. Diakses dari https://optika.id/news-69637-ekonomi-gig-dan-ai-peluang-tantangan-dan-persiapan-mahasiswa
-
Woodcock, J., & Graham, M. (2019). The gig economy: A critical introduction. Polity Press.
