TFRIC-19 Dorong DDR Sebagai Alat Radiografi Digital Berbasis AI
- Arundati Swastika Waranggani
- •
- 30 Jul 2021 10.50 WIB
Task Force dan Inovasi Teknologi untuk penanganan COVID-19 (TFRIC-19) mendorong untuk dilakukannya hilirisasi Direct Digital Radiography (DDR) sebagai alat radiografi digital yang dkembangan dengan berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
“Upaya mengantarkan produk DDR ke pasar bukanlah tanpa tantangan, justru salah satu tantangan utama dalam sebuah proses inovasi adalah pada tahapan difusi dan komersialisasi,” kata Hammam riza, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam Webinar bertajuk Kemandirian Alat Kesehatan Melalui Produk Inovasi DDR, Kamis (29/7/2021).
Hammam menuturkan, hilirisasi serta komersialisasi untuk produk DDR akan mendukung proses pembangunan kemandirian produk inovasi dari anak bangsa untuk melakukan penanganan COVID-19.
Sedangkan uji kinerja serta proses mendapatkan izin DDR masih berlangsung hingga saat ini. TFRIC-19 melakukan koordinasi pula dengan RSUD dr. Sardjito Yogyakarta terkait dengan data pasien melalui AI, hingga citra X-ray dan CT-Scan bisa diunggah dengan mudah.
Pada hilirisasi produk inovasi DDR juga, Universitas Gadjah Mada (UGM) memiliki peran penting sebagai pemegang paten dan inovator, kemudian PT Madeena sebagai mitra industri, serta Pusat Teknologi Elektronika Kedeputian Teknologi Informasi, Energi, dan Material (TIEM) BPPT sebagai pendamping prototipe dan perolehan izin edar.
Kedeputian Pengkajian Teknologi ikut berperan aktif pula dalam pendampingan produk DDR melalui kajian tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), e-katalog inovasi, klaster industri dan rantai pasok, kajian kesiapan, kemampuan dan strategi untuk pengembangan industri, serta kajian untuk kelayakan bisnis dan kesiapan komersialisasi dari produk DDR.
Sementara itu, Founder PT Madeena Karya Indonesia sekaligus inovator DDR, Gede Bayu Suparta menyampaikan bahwa pengembangan radiografi digital berbasis AI seperti DDR dilakukan karena ingin menjawab masalah kebutuhan alat radiografi di Indonesia.
“Indonesia belum memiliki alat radiografi digital yang cukup banyak untuk melihat paru-paru, yang ada saat ini adalah PCR test yang harganya jauh lebih mahal dibanding alat radiografi digital itu sendiri,” ujar Gede.
Gede mengatakan bahwa radiografi digital bisa membedakan kondisi paru-paru yang normal dan sehat dengan yang sedang sakit seperti asma, paru-paru embolis, histoplasmosis, bronkitis, hingga COVID-19. Melalui citra medik yang bisa dihasilkan DDR, maka diagnosa bagi penderita COVID-19 akan sangat terbantu.
Kecerdasan buatan atau AI yang ada dalam DDR lah yang bisa dengan mudah membedakan jenis-jenis penyakit dalam paru-paru, sehingga penderita COVID-19 pun bisa mendapat diagnosa dengan jelas. Gede sendiri berharap DDR bisa segera mendapat izin edar dan segera dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, terutama dalam penanganan pandemi COVID-19.
“Kami ingin menjadi mitra untuk platform teleradiologi memanfaatkan semua fitur industri digital 4.0,” tutur Gede.